Andaikan anda (laki-laki) sudah siap jasmani dan rohani serta materi untuk menikah. Maka, apa tindakan selanjutnya? Jawabnya adalah melamar calon istri anda.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah proses melamar? Secara garis besar, proses melamar terkait erat dengan budaya dan adat istiadat di masing-masing daerah/tempat/negara. Jika kita melihat di film-film Barat, proses melamar dilakukan si pria seraya berlutut dan memegang tangan si perempuan, kemudian dia bertanya,”Would you marry me?” Menunggu jawaban si perempuan merupakan saat2 yang ‘menyiksa’ hingga kata “Yes” terlontar.
Cara melamar lainnya, yang saya tahu, adalah dengan mempertemukan keluarga pihak laki-laki (orang tuanya) dengan keluarga pihak perempuan. Pertemuan biasanya dilakukan di rumah pihak perempuan.
Nah, kembali, adat istiadat biasanya sangat dominan dan ‘mesti’ dipenuhi, terutama di Indonesia.
Beberapa cerita teman saya, saat proses lamaran ke pihak perempuan, ada yg saling membanggakan silsilah keluarganya. Ada juga yg datang dengan segala kekayaan yg bisa diperlihatkan kepada pihak perempuan. Singkatnya, pihak laki-laki hendak memperlihatkan bahwa mereka mempunyai bibit, bebet, dan bobot yang terbaik dan pantas melamar si perempuan.
Dalam Islam, sebenarnya proses lamaran itu tidak sulit.
Cara pertama: anda bisa menanyakan langsung kepada sang kekasih, apakah dia bersedia menikah dengan anda? Si gadis boleh menjawab “Ya”, boleh juga diam. Diam di sini akan diartikan sebagai persetujuan.
Cara kedua: seperti yg saya tulis di atas, anda mengajak orang tua anda bertemu dengan orang tua dari pihak perempuan. Lalu dalam pertemuan itu, utarakanlah keinginan anda untuk menikahi sang perempuan.
Cara ketiga: jika anda ‘tidak sempat’ mengenal sang perempuan, tapi punya keinginan langsung menikahinya, maka lamaran anda bisa langsung anda sampaikan ke pihak orang tua perempuan. Cara ini tidaklah lazim dilakukan/dikenal di Indonesia, tapi bukan berarti salah. Hanya saja, anda mesti siap menerima resiko terburuk: ditolak mentah-mentah oleh sang perempuan.
Lalu, bolehkah seorang perempuan menolak lamaran? Boleh saja, jika si perempuan memang tidak berkenan dengan si pria. Tentunya menolaknya harus baik-baik. Tidak perlu menolak seperti,”Eh, maaf ya, situ siapa berani melamar saya?” hahaha…ini bercanda tentu saja.
Catatan: ada salah penafsiran yang beredar di masyarakat. Jika si gadis/perempuan tidak setuju, maka dia harus diam. Ini tentu saja salah penafsiran yang bisa berakibat fatal. Saya pernah menemui kasus seperti ini. Dan saya terus terang kasihan kepada si perempuan, meski pada akhirnya dia mengatakan bahagia menikah dengan suaminya.
Apa saja yang mesti diperhatikan dalam lamaran?
1. Mengetahui dan melihat sang calon (perempuan).
Hal yang serupa (meski tak sama) pernah saya tulis di artikel “Tak Kenal Maka Ta’aruf”. Ini bukan kewajiban, tapi disarankan agar tidak terjadi fitnah atau kasus di kemudian hari.
2. Sang calon tidak dalam proses dilamar laki-laki lain.
Saya temukan hadits berikut: Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Rasululloh SAW bersabda,”Seorang lelaki tidak boleh meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya” (HR. Ibnu Majah). Oleh karenanya, ada baiknya pihak laki-laki mencari dan mengumpulkan informasi mengenai hal ini.
Jika sang calon ternyata sedang pacaran dengan laki-laki lain, bagaimana? Setahu saya, pacaran BUKAN lamaran, tidak ada keterikatan secara hukum (agama), maka sah-sah saja jika ada laki-laki lain yang melamar. Malah menurut saya, lebih baik sang perempuan memprioritaskan dan menyetujui lamaran laki-laki lain, daripada pacaran sekian lama tapi tidak jelas arahnya. Tentu saja, sang perempuan juga mesti mengumpulkan informasi mengenai laki-laki yang melamarnya.
3. Sang perempuan boleh menolak/memilih yang melamarnya.
Seperti yang saya tulis di atas, sang perempuan mempunyai hak untuk memilih (menyetujui/menolak) laki-laki yang melamarnya. Hendaknya pada saat melamar, sang perempuan ditanya dan ditunggu jawabannya. Dengan demikian, tidak terjadi pemaksaan dalam proses lamaran. Mari simak hadits berikut Rasululloh SAW bersabda, “Janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya. Sedangkan gadis dimintai izin tentang urusan dirinya. Izinnya adalah diamnya. “(Mutaffaqun alaih).
4. Tidak melamar perempuan yang sedang masa iddah.
Yang dimaksud masa iddah adalah waktu yang dimiliki seorang perempuan yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Sedangkan yang dilarang melamar di sini adalah melamar secara terus terang. Sementara jika memberi ‘isyarat’, diperbolehkan. “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah(2):235)
Semoga artikel ini berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar