Ketua MUI dalam kunjungannnya ke Pondok yang diberi nama Ma’had Tahfidzhul Qur’an Raudhatul Huffadzh ini, dalam rangka acara “Silatul Ukhuwah” antara pengelola Pondok yang dipimpin oleh Al Akh Abdullah Mustadi, Keluarga besar WI Jakarta dengan warga sekitar Pesantren,
Kegiatan ini dirangkaikan dengan penutupan program Daurah Shaifiyah Lembaga Tahfidzhul Qur’an Raudhatul Huffadzh LIPIA Jakarta yang sebelumnya telah melaksanakan kegiatannya selama 1 bulan ,sejak Tanggal 2 Juli 2010.
Acara yang berlangsung dengan khidmat ini dihadiri peserta yang terdiri dari Santri, Mahasiswa LIPIA, warga masyarakat setempat, pengurus DPC WI Jakarta dan Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah, serta perwakilan keluarga pewaqaf tanah lokasi Pesantren .
Acara ini juga diisi dengan sosialisasi kegiatan Ma’had Tahfidzhul Qur’an Raudhatul Huffadzh dan juga laporan Panitia Program Daurah Shaifiyah Lembaga Tahfidzhul Qur’an Raudhatul Huffadzh LIPIA Jakarta.
Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah yang menerima langsung dan mendampingi Ketua MUI, dalam sambutannya, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua MUI yang telah menyempatkan mengunjungi pondok Pesantren Wahdah Islamiyah. Setelah itu, Ustadz yang sementara Studi S3 di Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini memberikan penjelasan singkat tentang Ormas WI serta kegiatan-kegiatannya di Wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Ketua MUI Al Mukarram Al Ustadz K.H. Ahmad Chalil Ridwan Lc., memberi Tausiah pada acara ini, dimulai dengan mengoreksi istilah ‘silaturahim/silaturahmi’. Menurut Pimpinan Pesantren Al Husnayain yang sekaligus Ketua Dewan Dakwah Indonesia ini, bahwa istilah silaturahim tidak cocok digunakan untuk kegiatan yang umum seperti ini, karena menurutnya kata silaturahim/silaturahmi adalah untuk menjalin hubungan diantara orang yang ada hubungn darah (atau keturunan). Sehingga semua dalil-dalil tentang ancaman bagi yang memutuskan silaturahim itu ditujukan bagi mereka yang memutuskan persaudaraan sedarah, misal: kakak dengan adik, anak dengan orang tua, cucu dengan kakek, ponakan dengan paman/bibi, dan seterusnya.
Istilah yang tepat untuk menyebut jalinan persaudaraan diantara orang yang tidak ada hubungan darah dalah ‘Silatul Ukhuwah’. Pak Kiyai mengisahkan bahwa ia mulai menggunakan istilah Silatul Ukhuwah sejak Tahun 80-an dimana saat itu beliau menjadi salah satu peserta daurah untuk para kiyai Indonesia yang dibawakan oleh beberapa ulama dari Mekkah dan Riyadh dibawah koordinasi atase kerajaan Saudi Arabia.
Pada waktu itu, lanjutnya, salah seorang kiyai ditugaskan membawakan ceramah setelah shalat subuh dalam bahasa arab, dimana kiyai tersebut mengangkat topik silaturahmi, dan langsung saja salah seorang Syaikh memprotes dengan serta merta dengan naik langsung ke mimbar dan menjelaskan bahwa peristilahan tersebut tidaklah benar, dan lebih tepat menggunakan istilah silatul ukhuwah. Selanjutnya KH. Cholil menghimbau agar Wahdah Islamiyah dan organisasi lainnya juga mulai mensosialisasikan istilah ini.
Selanjutnya, Pak Kiyai menjelaskan tentang beberapa fenomena terkini tentang dinamika perkembangan Islam di Indonesia. Beberapa hari terakhir beliau selaku pengurus MUI sering mendapat usulan atau permintaan baik melalui SMS dan lainnya untuk membubarkan FPI (Front Pembela Islam). Dengan tegas beliau menjawabnya, “Tidak, jika ada yang bersalah, adili dan hukum tapi jangan minta organisasinya dibubarkan. FPI kan menamakan dirinya Pembela Islam, kalau dibubarkan, siapa yang akan membela Islam?
“Jika FPI dibubarkan, maka NU jika dianggap keras suatu waktu nanti akan diminta juga dibubarkan, Muhammadiyah juga demikian, dan bisa jadi Wahdah Islamiyah menjadi Ormas pertama yang akan dibubarkan setelah FPI,” demikian terang beliau disambut tawa oleh para hadirin.
Beliau juga menegaskan bahwa Syiah, Ahmadiyah, dan Islam Jama’ah adalah golongan sesat yang harus diwaspadai. Beliau pun menghimbau pemerintah setempat untuk memperhatikan perkembangan kelompok-kelompok sesat ini di wilayah mereka termasuk di Pondok Cabe.
Di samping itu, Ketua Syabakah Produsen dan Konsumen Muslim Indonesia ini dalam tausiahnya juga menjelaskan tentang fenomena perkembangan Islam di dunia dimana menurutnya sekarang ini adalah masa kejayaan Islam fase ketiga (700 tahun ketiga).
Beliau membagi fase perkembangan Islam dalam kurun 700 tahunan, dimana pada 700 tahun pertama Islam mencapai kejayaannya sampai ke benua eropa. Kemudian 700 tahun kedua, Islam mengalami keterpurukan. Sekarang pada Tahun 1431 H, Islam telah 31 tahun memasuki fase 700 tahunnya yang ketiga, dimana sejak 31 tahun yang lalu sampai sekarang telah nampak kembali tanda-tanda kebangkitan Islam khususnya yang dirasakan di Indonesia.
Beliau mencontohkan bahwa 30 tahun yang lalu, jilbab dilarang masuk ke sekolah negeri. Tidak sedikit siswi yang dikeluarkan dari sekolah negeri karena mempertahankan jilbabnya, bahkan putri dari salah seorang menteri melalui kekuasaan ayahnya pernah menuntut hal tersebut ke pengadilan namun kalah dan terpaksa harus keluar dari sekolahnya. Namun sekarang, jilbab telah bangga dinampakkan di mana-mana, bahkan sebagian pemerintah daerah telah membuat Perda kewajiban memakai jilbab bagi siswi muslimah meskipun baru pada Hari Jumat saja.
Pimpinan Persatuan/Perhimpunan Pondok Pesantren Indonesia ini menutup tausiahnya dengan menjelaskan keutamaan menghafal Al Qur’an. Beberapa bukti yang beliau temukan menunjukkan bahwa lembaga pendidikan umum yang menerapkan program menghafal qur’an di sekolah menunjukkan bahwa siswa-siswa yang berprestasi adalah mereka yang hafalan qur’annya banyak. Maka beliau menghimbau agar perhatian terhadap hafalan qur’an diberikan porsi yang lebih besar, terutama bagi generasi muda Islam saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar